Cuaca

Sejarah

cover
Desa Tuada merupakan salah satu desa tertua di Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat. Secara geografis, desa ini terletak di pesisir barat Pulau Halmahera dan memiliki garis pantai yang cukup panjang, menjadikannya strategis secara ekonomi maupun budaya sejak dahulu kala.

Nama "Tuada" sendiri dipercaya berasal dari bahasa Ternate, yang artinya "tempat tinggi" atau "tanah yang ditinggikan". Hal ini berkaitan dengan letak desa yang sebagian wilayahnya berada di dataran yang sedikit lebih tinggi dari garis pantai, sehingga sering menjadi tempat aman saat gelombang laut tinggi melanda.

Sejak zaman Kesultanan Ternate, kawasan yang sekarang dikenal sebagai Desa Tuada sudah menjadi tempat persinggahan bagi para pelaut dan pedagang rempah. Letaknya yang dekat dengan perairan strategis menjadikannya jalur pelayaran penting dalam rute perdagangan cengkih dan pala.

Penduduk awal Desa Tuada berasal dari suku asli Halmahera Barat, terutama suku Sahu dan suku Tobelo. Mereka hidup secara komunal dan menjunjung tinggi adat istiadat. Kehidupan masyarakat kala itu banyak bergantung pada hasil laut, ladang berpindah, dan perburuan di hutan sekitar.

Pada masa penjajahan Belanda, Tuada menjadi salah satu titik pengawasan karena aktivitas perdagangannya. Belanda sempat membangun pos kecil di sekitar pantai untuk memantau lalu lintas kapal dan mengumpulkan pajak dari para pedagang lokal.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Desa Tuada mengalami perubahan administratif yang signifikan. Pemerintah mulai membentuk struktur desa formal pada awal tahun 1960-an. Kepala desa pertama diangkat oleh pemerintah kecamatan sebagai bagian dari penataan ulang wilayah administratif.

Dalam perkembangannya, desa ini mulai membentuk struktur sosial modern seperti RT, RW, dan dusun. Namun hingga kini, tradisi musyawarah adat tetap dijunjung tinggi, terutama dalam pengambilan keputusan penting yang menyangkut lahan, adat istiadat, dan urusan masyarakat.

Salah satu momen penting dalam sejarah Desa Tuada adalah ketika terjadi letusan gunung api di dekat Jailolo pada awal 1980-an. Meskipun tidak langsung terdampak, sebagian warga sempat mengungsi karena takut akan potensi tsunami atau hujan abu.

Sejak tahun 1990-an, Desa Tuada mulai dikenal sebagai kawasan dengan potensi wisata bahari. Keindahan pantainya, batu karang, dan perairan yang masih jernih menarik perhatian wisatawan lokal dan beberapa peneliti kelautan.

Pemerintah desa mulai menggencarkan program pembangunan pada era reformasi, termasuk pembangunan jalan desa, air bersih, dan jaringan listrik. Program-program dari pusat seperti PNPM dan Dana Desa turut mendorong peningkatan kualitas hidup masyarakat.

Dari sisi pendidikan, Desa Tuada membangun sekolah dasar pertama pada awal tahun 2000-an. Sebelumnya, anak-anak desa harus berjalan kaki ke desa tetangga untuk menempuh pendidikan dasar. Kini, sebagian besar warga muda sudah mengenyam pendidikan menengah, bahkan tinggi.

Pada tahun-tahun terakhir, Tuada dikenal dengan Festival Pantai Tuada, sebuah acara tahunan yang menampilkan budaya lokal, tarian tradisional, dan lomba perahu nelayan. Festival ini menjadi ikon baru desa dan menarik pengunjung dari berbagai daerah.

Pemerintah desa juga mulai menggandeng pihak luar untuk mengembangkan potensi pertanian dan perikanan berkelanjutan. Salah satu fokusnya adalah pada pengelolaan hasil laut seperti ikan kering, keripik rumput laut, dan budidaya teripang.

Meski berkembang, Desa Tuada tetap berpegang pada nilai-nilai lokal yang diwariskan leluhur. Rumah adat, upacara panen, dan tradisi gotong royong masih menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Hingga kini, Desa Tuada terus tumbuh sebagai desa yang berakar pada sejarah panjang namun terbuka terhadap masa depan. Warga desa, yang mayoritas nelayan dan petani, hidup dengan semangat saling membantu, menjadikan Tuada bukan sekadar tempat tinggal, melainkan rumah bagi sejarah dan harapan.

0 Comments :

Berikan Komentar Anda



Desa Tuada
© desain: malut.my.id